HUKUM
DAN ENERGI
Dalam pandangan Yunani, yang dipelopori Filsufnya yang
bernama Socrates, Plato dan Ariestoteles, bahwa Hukum memiliki dimensi cita hukum, yang didalamnya meliputi : Keadilan,
Kepastian Hukum, Kemanfaatan Hukum dan kebahagiaan Hukum.
Pandangan Yunani tersebut mempengaruhi perkembangan Hukum
ke seantero dunia, hal itu dapat terlihat dari perkembangan Hukum diberbagai
Negara termasuk di Indonesia sendiri.
Namun sangat disayangkan, perkembangan Hukum di Indonesia
mengalami keterpurukan dalam konteks dinamikanya, sehingga pradikamenta (Nasib)
Hukum Indonesia dalam perkembangnnya terbelenggu oleh kekuasaan yang dilakukan
oleh para pemegang kekuasaan dengan segala penyalahgunaannya ( Abuse of Power
).
Hukum sering terlihat lumpuh karena tidak memiliki
energi, seharusnya Hukum itu tidak boleh lumpuh, karena didalam Hukum ada
manusia yang memiliki akal budi, menyeimbangkan antara intuisi dan inspirasi.
Jika antara intuisi dan inspirasi tidak berjalan secara seimbang maka cita
hukum itu seperti yang penulis sampaikan diatas tidak akan pernah dirasakan
oleh masyarakat. Oleh karena itu hukum itu harus memiliki energi, untuk dapat
menggerakkan hukum itu bekerja mengejar kebenaran, karena Hukum maunya benar.
Ubi Sociates Ubi Ius, juga merupakan satu pandangan dari
Filsuf terkenal bernama Cicero yang mengatakan bahwa dimana manusia berada maka
disitu ada hukum. Seiring dengan pemikiran dan pandangan Filsuf terkenal
tersebut diatas, Sudiman Kartohadiprojo juga berpikiran yang sama bahwa Hukum
itu adalah manusia karena didalam Hukum ada Hak dan kewajiban yang harus
berjalan seimbang tanpa membedakan status sosialnya, karena azas Equility
before the Law, yang telah terpatrikan didalam UUD 1945, harus menjadi pedoman
bagi semua warga negara Indonesia yang memiliki kedudukan maupun tidak untuk
selalu mengedepankan azas tersebut, sehingga harkat dan martabat manusia selalu
terjunjung tinggi dalam peradaban kehidupanya.
Jika kita melihat permasalahan Hukum yang timbul beberapa
minggu kebelakang, adanya penanganan kasus korupsi dilembaga kepolisian yang
ditangani oleh KPK, dan disisi lain lembaga Kepolisian sendiri mengambil bagian
dari penanganan kasus korupsi tersebut, menimbulkan polemik Hukum dikalangan
para pemerhati hukum dan kelembagaan negara.
Polemik Hukum tersebut terkesan adanya perselisihan
antara penyidik kepolisian dan penyidik KPK, yang dapat membuat arah dari proses dari penyidikan tersebut akan
menjadi tersumbat karena masing-masing lembaga berdalil dalam Hukum positif
sebagai payung Hukumnya.
Seharusnya jika kita melihat kepada tujuan Hukum, bahwa
Hukum harus melahirkan Cita Hukum, Lembaga manapun yang menangani kasus
korupsi, apresiasi terhadap penanganan korupsi itu harus kita berikan.
Sebagai pemerhati
Hukum. Jika Hukum telah diperanakkan dalam satu ke lembagaan hanya untuk
melindungi orang yang melakukan kejahatan maka Hukum itu tidak akan pernah
bekerja dalam rangka melahirkan Cita Hukum, namun Hukum juga tidak boleh
dijadikan sebagai alat pembenar semata-mata tanpa fakta yang konfrehensif sebagai
dalil dalam penegakkan Hukum, karena
kita harus ingat apa yang dikatakan oleh Francis Bacon “ There is No Worse
Thorture, Then The Thorture Of Law “ artinya tiada penyiksaan yang lebih buruk
dibanding penyiksaan terhadap Hukum.
Artinya bahwa tidak ada satu kekuasaan apapun didalam
kelembagaan negara dengan dalih Law Enforcement dapat melakukan
tindakan-tindakan Hukum secara arogan tanpa mengindahkan hak azazi manusia. Law
Enforcement dibutuhkan dimana Indonesia sebagia negara Hukum ( Recht Staat )
menginginkan bahwa Law Enforcement itu harus dapat ditegakkan sekalipun
kekuasaan membentengi dan membelenggu, akan tetapi Hukum harus tetap Hukum
dengan Cita Hukumnya untuk memberikan kemaslahatan kepada umat.
( Penulis : Dr. Jogi
Nainggolan, SH, MH, Dosen, Consultant Hukum dan Pemerhati Hukum )